biggest fear
© kalanotes Setelah membaca notifikasi dari kedua orang tuanya tadi, bitha yang tadinya baru saja membuka mata segera bangun dan mandi secepat mungkin. Buru-buru mengenakan pakaian lalu mengambil handphonenya yang tengah di cas dari semalam dan langsung keluar dari apartnya yang tanpa sadar lupa ia kunci.
Ia bergegas turun ke basement, masuk ke mobilnya dan memanaskannya barang beberapa menit sembari memikirkan kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi jika ia tak bergegas datang kerumahnya dan melerai pertengkaran antara kedua orang tuanya.
Kedua orang tuanya memang sering bertengkar, jika dipikir pikir ya pasangan suami isri mana yang tak pernah berbeda pendapat yang berujung terjadinya pertengkaran? namun menurut bitha, orang tuanya sudah terlalu over, sejak kecil tak jarang bitha mendengar kedua orang tuanya bertengkar bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya dirasa tak begitu perlu untuk diperdebatkan namun apa boleh buat, mungkin salah satu faktornya juga karena sifat mama papanya yang sangat bertolak belakang dan jika bukan bitha yang selalu melerai mereka.. mungkin kejadian seperti pagi ini akan terjadi lebih cepat.
Bitha sudah mengkhawatirkan tentang ini bahkan sejak ia masih tinggal seatap dengan kedua orang tuanya. Pikiran buruk ini sempat ia buang sejenak karena pikirnya hal ini tidak akan mungkin terjadi selama ia masih dapat melerai kedua orang tuanya tiap terjadi pertengkaran, namun pikiran buruk ini kembali begitu ia memutuskan untuk tinggal di apartmen.
Bukan tanpa alasan, ada banyak faktor yang membuat kedua orang tuanya juga setuju dengan keputusannya untuk tinggal di apartmen. Salah satunya karena maminya yang bekerja di dunia perhotelan sebagai sales manager, yang mengharuskannya sering keluar kota bahkan keluar negri untuk tugas-tugas tertentu sedangkan papanya yang sangat sibuk di dunia perkantorannya yang mengharuskannya berangkat pagi-pagi buta dan pulang tengah malam bahkan tak jarang juga papanya baru pulang di pagi esok harinya yang membuat bitha sering sendirian dirumahnya.
Banyak hal-hal yang bitha benci sebagai anak tunggal, seperti sering sendirian dirumahnya yang bisa dibilang cukup luas untuknya seorang diri berada didalamnya, namun yang paling ia benci adalah ketika hanya ia sendiri yang dapat menghentikan pertengkaran kedua orang tuanya yang tak jarang bahkan melibatkan benda benda tajam, bayangkan saja anak umur 5 tahun sudah harus mendengar dan melihat keributan hebat kedua orang tuanya yang melibatkan pisau, gunting dan benda benda tajam lainnya.
Jarak antara apartmen dan rumah bitha bisa terbilang cukup jauh dan sering macet juga menjadi alasan bitha tinggal di apartmen saat ini, karena jarak apartmen yang lebih dekat dengan sekolahnya dan ia yang sudau bisa menyetir menjadi pertimbangan orang tuanya untuk menyetujui keputusannya juga. Namun syukurlah keadaan jalanan saat ini tidak ramai seperti biasanya mungkin faktor masih pagi juga.
Memakan waktu kurang lebih satu jam kurang lima menit, sampailah ia di kediamannya. Bitha masih didalam mobil menenangkan dirinya yang sedari tadi takut, memikirkan hal apa yang kini menjadi penyebab pertengkaran hebat antara kedua orang tuanya, pastinya bukan hal sepele hingga membuat mereka memutuskan untuk berpisah.
Turunlah ia dari mobilnya, menatap gerbang tinggi berwarna coklat yang sudah jarang ia lihat, terakhir kali ia kesini mungkin sekitar dua bulan lalu saat anniv orang tuanya. Begitu memasuki area rumahnya dilihatnya mobil CR-V abu-abu yang tak asing baginya, mobil “teman” maminya jika ia tak salah ingat namun ia tak mau ambil pusing memikirkan hal yang tidak begitu penting itu, ia segera menuju pintu depan rumahnya yang langsung mengarah pada ruang tamu.
Dibukanya pintu tersebut perlahan, tanpa ketokan terlebih dahulu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia hanya berdiri disana menyaksikan pertengkaran hebat yang ternyata tak seburuk pemikirannya, namun begitu dilihatnya pisau pada tangan kanan papanya yang diarahkan pada dirinya sendiri membuatnya segera lari ke dalam dan menahan tangan papanya “paa, jangan” ucapnya pelan sembari menatap papanya
“liat kan papamu, dari dulu kalo udah pasrah sasarannya pisau, dipikir kalo mati enak gitu bebannya ilang semua” ucap mami bitha dengan tatapan tajamnya pada papa bitha
“daripada kamu, nelantarin suami sama anak demi laki-laki gajelas yang jelas jelas jauh dibawah aku” balas papa bitha tak mau kalah
“aku gaakan gitu kalo bukan kamu yang mulai duluan, apa kabar kamu sekretaris kamu”
“STOP!” teriak bitha ditengah keributan kedua orang tuanya
“gabisa sayang kamu harus tau gimana kelakuan mami kamu”
“i know pa, bitha udah liat tapi bitha ga pernah mau bahas ini sama papa” “bitha tau itu salah tapi bitha gamau ngebahas itu karena tau akhirnya bakalan gini” jelas bitha dengan nada lirih, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh
“kamu liat anak ini, dia sendirian yang selama ini harus selalu nengahin kita yang sama sama gamau ngalah” ujar papa bitha sembari menunjuk bitha
“ya karena kamu egonya tinggi”
“kamu jug-
“bitha bilang stop ya stop!”
“okay” “pokonya keputusan mami udah bulat, besok kita urus suratnya” “kalo kamu mau ikut mami masuk mobil sekarang, tapi kalo ngga silahkan urus diri kalian berdua baik baik” ucap mami bitha sebelum akhirnya mengambil tasnya di samping kanannya dan berjalan ke arah luar meninggalkan bitha dan papanya
“mii” panggil bitha sebelum akhirnya berlari mengejar maminya dan memeluknya erat
Pelukannya terbalas “maafin mami ya” ucap maminya sebelum akhirnya melangkah masuk ke mobil abu-abu tadi.
Kini tersisa ia dan papanya yang belum juga bergerak dari posisi tadi, keadaan hening beberapa saat hingga ringtone ponsel papanya memecah keheningan “oiya iya pak maaf, saya segera kesana sekarang” bisa dipastikan itu pasti salah satu client papanya.
“papa berangkat kerja dulu ya sayang, nanti malam kalo sempet kita obrolin ini lagi ya” ucap papanya yang disertai kecupan singkat pada kening anak satu-satunya dan beranjak masuk ke mobilnya meninggalkan bitha lagi lagi seorang diri.
Bitha segera memasuki mobilnya, meloloskan air matanya yang sudah ia tahan sejak tadi, ia tak menyangka hal yang paling ia takutkan tentang keluarganya terjadi pagi ini. Ia menangis sejadi jadinya, memikirkan kemungkinan kemungkinan buruk apa lagi yang akan terjadi setelah ini.
Dirasanya cukup ia berusaha menenangkan dirinya sendiri, ia mengambil ponsel di samping kirinya, menyalakan data seluler nya dan melihat banyaknya notifikasi muncul. Satu notifikasi yang paling menarik perhatiannya, dari leon. Benar, hanya leon yang sedari dulu menjadi tempat sandaran bitha dahulu saat ia ada masalah dengan orang tuanya, bahkan saat mereka sudah putus pun.
“Hey, where are you?” “lo kerumah? your parents again?” “if you need something or need someone as listener let me know okay?” Begitu membaca pesan dari leon ia rasa bercerita dengannya bukan hal terbaik juga, saat ini ia sendiri belum siap menceritakan peristiwa pagi ini pada orang lain.
Ia kembali mematikan data seluler dan mematikan daya ponselnya, berlanjut menatap setir di hadapannya. Kembali ke apart saat ini mungkin juga bukan hal yang baik baginya, ia memilih melajukan mobilnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. Padahal ia biasanya sangat takut untuk melaju ke tempat atau jalan yang belum pernah ia lewati, namun entah keberanian darimana ia melakukannya saat ini, tidak peduli jika nantinya ia kesuliatan mencari jalan pulang ke rumah, karena rumahnya saja sudah memutuskan untuk berpisah dan meninggalkannya.